Ayah Ajarkan Aku Tawadhu

Oleh : Zahidah Sholihah

Suara detak jam mengiringi tahajud, menjadi saksi tetesan air mata atas rasa penyesalan terhadap dosa-dosa dan pengharapan ridho Allah Subhanahu Wata’ala atas nafas kehidupan. Jam dinding ditatapnya menunjukkan pukul 03.00 WIB. Dengan mengangkat kedua tangannya Mufidah menenggelamkan dirinya dalam doa, dzikir dan tilawah.

Beduk subuh terdengar bertalu-talu. Suara adzan yang syahdu berkumandang memanggil umat islam untuk melaksanakan shalat subuh. Angin gunung menerobos masuk melalui sela-sela pintu. Malam telah bergerak pergi dan sang fajarpun akan segera menyingsing.

Setelah mandi, Mufidah segera melaksanakan shalat kemudian melaksanakan rutinitas di pagi hari. Yakni duduk di depan meja belajarnya untuk mengulang hafalan Al-quran yang telah dihafalnya tadi malam sebelum tidur. Mufidah telah berjanji kepada dirinya sendiri akan berjuang menyelesaikan hafalan Al-quran 30 juz sebelum lulus SMA. Setiap hari ia harus rela tidur hanya 5 jam dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghafalkan Al-quran.

Mufidah adalah seorang gadis berusia 17 tahun duduk di kelas XII SMA,tinggal di pinggir kota yang berada di Pasirjati, tepatnya di Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Mufidah merupakan anak yang taat dan rajin. Mufidah juga termasuk anak yang sopan dan ramah, sehingga banyak teman yang memperhatikan kepribadiannya.

Mufidah merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya berusia delapan tahun saat ini duduk di kelas dua SD. Ayah Mufidah bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara ( ASN ) di Kementerian Energi Dan Sumberdaya Mineral dan sebagai tenaga ahli di United Nations Development Programme ( UNDP ) dalam program penanganan bencana alam di Indonesia. Sedangkan ibu Mufidah adalah pengusaha di bidang makanan. Kehidupan Mufidah cukup berada dengan ditunjang berbagai fasilitas lengkap, memiliki beberapa kendaraan bahkan beberapa rumah. Tapi orangtua Mufidah mengajarkan Mufidah untuk tawadhu dan mandiri.

Setiap hari Mufidah menjalani aktivitas yang padat. Selain sebagai siswi SMA Mufidah juga menjadi santri di salah satu lembaga tahfidz di Bandung, mengikuti kursus Bahasa Arab dan Kursus Memasak di suatu Akademi Tata Boga. Mufidah bercita-cita menjadi Pengusaha di bidang kuliner dan pengajar Al-quran.

Dua minggu ini yang menganggu pikiran Mufidah adalah permintaan sahabatnya yang bernama Nur. Nur meminta agar Mufidah tidak sombong atas semua pencapaiannya. Mufidah memang selalu meraih peringkat satu di kelasnya dan sering menjuarai berbagai lomba yang pernah diikutinya seperti Musabaqah Hifdzil Quran ( MHQ ), kaligrafi, fotografi bahkan karate. Mufidah sangat kebingungan dengan permintaan Nur, ia bingung apa yang harus dilakukan agar Nur mengerti bahwa segala kegiatan dan pencapaian yang ia lakukan semata untuk mengasah kemampuan dan bakatnya bukan untuk mendapatkan pujian.

Hari berganti hari masih saja Mufidah terganggu fikirannya atas perubahan sikap Nur. Mufidah merasa kehilangan Nur , sahabat yang selama ini menjadi tempatnya berbagi cerita. Mufidah berniat meminta nasehat ayah perihal gangguan di fikirannya. Kalau kepada ibu Mufidah sudah bercerita tapi Mufidah ingin mendengar pendapat dari sisi ayah.

Ayah terlihat sedang sibuk mengetik di depan laptop sambil mendengarkan murattal dari Syekh Al Ghamidi. Mufidah menghampiri ayah dan mengambil kursi duduk di samping ayah. Ayah tersenyum melihat Mufidah, seolah mengetahui Mufidah ingin menceritakan sesuatu kepada ayahnya.

Salah satu orang yang Mufidah idolakan adalah ayah. Ayah telah mengkhatamkan hafalan Al-quran sejak usia 15 tahun, meraih predikat cumlaude sewaktu kuliah S 2 di Institut Teknologi Bandung hanya dalam 4 semester, dan ayah berkali kali mendapat tawaran beasiswa S 3 dari berbagai negara, dari Jepang, Jerman, Belanda dan Australia. Kinerja ayah yang di atas rata-rata membuat Kapus ( Kepala Pusat ) pimpinan di kantor ayah mendukung penuh kemajuan ayah. Tapi ayah menolak dengan halus semua tawaran beasiswa S 3 tersebut karena ayah ingin mempelajari Bahasa Arab terlebih dahulu. Kata ayah Mufidah juga harus berjuang memahami bahasa Arab agar dapat memahami Al-quran, sehinga bisa mengamalkan dan mengajarkan Al- quran nantinya.

“ Ayah...” Mufidah mulai membuka pembicaraan. “ Apakah lawan dari sombong itu adalah tawadhu ? Bagaimana agar Mufidah bisa menjadi insan yang bisa memiliki sifat tawadhu tersebut?”

Ayah terdiam sebentar seolah berpikir untuk menyusun kalimat. “ Mufidah, apakah pertanyaanmu ini berhubungan dengan Nur ? Ibumu sudah menceritakannya kepada ayah.” Mufidah mengangguk mendengar pertanyaan ayahnya.

“ Mufidah...kadang kita harus belajar untuk tidak perlu risau dengan penilaian orang lain kepada kita. Sekiranya apa yang orang tuduhkan kepada kita itu tidak benar...kita tenang saja. Karena Allah maha mengetahui apa yang ada di dalam hati tiap manusia.” Ayah berkata sambil mengusap kepala Mufidah.

“ Tawadhu adalah adalah sifat yang sangat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, ‘Kian berisi, kian menunduk’”.

Ayah membuka buku kumpulan hadist dan memberikan penjelasan lagi kepada Mufidah “ Di hadist riwayat Muslim nomor 2856 disebutkan ‘ Dan sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku untuk memiliki sifat tawadhu. Janganlah seseorang menyombongkan diri ( berbangga diri ) dan melampaui batas yang lain. Al Hasan Al Bashri berkata ‘Tahukah kalian apa itu tawadhu? Tawadhu adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim.Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

“ Mufidah, kita harus ridho jika dianggap memiliki kedudukan yang lebih rendah dari yang sepantasnya, agar kita mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.”

“ Ayah...Mufidah sudah berusaha menanyakan kepada Nur apa yang seharusnya Mufidah perbaiki,dan siikap apa yang telah Mufidah tunjukkan sehingga Nur menilai kalau Mufidah sombong...tapi sampai saat ini Nur tidak mau menjawab. Apa yang harus Mufidah lakukan ayah?” Mufidah sambil meletakkan kedua tangannya di dagu.

“ Kamu berbaik sangka saja, mungkin Nur baru ada hal lain yang lebih penting untuk di lakukan sehingga belum sempat menjawab pertanyaanmu sampai sekarang”.

“ Ayah...ada hal lain yang ingin Mufidah ceritakan. Kejadian ini tepat sebelum Nur berubah sikap kepada Mufidah.kejadiannya seperti ini ayah...

Nur bertanya kepada Mufidah “ Mufidah apa cita-citamu ?”.

“ Pengusaha dan pengajar Al-quran”, jawab Mufidah.

“Apa alasannya?” Nur kembali bertanya dengan agak ketus.

“ Kalau jadi pengusaha semoga jadi wasilah tuk dapatkan harta yang barokah yang aku bisa gunakan di jalan Allah...aku ingin dirikan banyak tempat dimana orang bisa belajar ilmu Al-quran gratis, aku juga ingin bangun banyak masjid. Kalau jadi pengajar Al-quran agar aku istiqamah jalankan kewajiban terhadap Al-quran sampai akhir hayat.”

“ Pantas...” Nur berkata dengan nada yang tidak nyaman. “ Pantas apanya Nur? “ tanya Mufidah tidak mengerti.

“ Pantas kakak sepupuku... Kak Amrullah sebut namamu.”

“ Kak Amrullah siapa itu Nur?”, Mufidah semakin tidak mengerti.

“ Kak Amrullah itu kakak sepupuku, sekarang sedang kuliah semester dua di Universitas Al-Azhar Kairo jurusan tafsir dan ulumul Quran. Kak Amrullah mendapat beasiswa penuh dari prestasinya.Kak Amrullah hafidz 30 juz dan mempunyai banyak usaha yang di rintis sejak Kak Amrullah masih SMP. Dari kecil Kak Amrullah sudah rajin menabung dan berdagang,padahal orangtuanya kaya raya. Usaha yang dirintis Kak Amrullah masih berjalan sampai saat ini dan mempekerjakan puluhan orang, kak Amrullah mempunyai peternakan kambing etawa yang jumlahnya ratusan. Juga memiliki beberapa hektar lahan untuk budidaya sayur- sayuran dan juga perkebunan buah tin. Bulan lalu kak Amrullah balik ke Indonesia beberapa hari untuk memulai proyek properti.”

“ MasyaaAllah...” tak sadar aku memotong bicara Nur.

“ Kak Amrullah orang yang sangat tawadhu walaupun pencapaiannya luar

biasa.”

“ Dan tahukah kamu?”, Nur memandangku dengan pandangan sinis.

“Kak   Amrullah    sudah   mengenalmu    Mufidah.   Dan   pernah   menanyakan

kepadaku, apakah Mufidah itu sahabat Nur?”

“ Dan aku jawab, Mufidah bukan sahabat Nur...”

Mufidah sangat kaget mendengar perkataan Nur. “ Apa maksudmu Nur?”

“Apa maksudmu aku bukanlah sahabatmu? Bukankah kita sudah bersahabat sejak kecil, dari dulu setiap akhir pekan kita selalu ke ma’had bersma-sama untuk menghafalkan Al-quran?”

“ Iya itu dulu...tapi setelah Kak Amrullah sebut namamu di hadapanku kau bukan sahabatku lagi!Kau sombong!” selesai mengucap Nur langsung pergi meningalkan Mufidah yang masih kaget mendengar pernyataan Nur.

Mufidah sedih mendengar pernyataan Nur. Ibunya sudah mensehatkan untuk sabar dan tetap mendoakan kebaikan kepada Nur. Tapi Mufidah masih saja kepikiran...

“Mufidah...”, ayah terlihat mencari kata yang tepat.

“ Ayah dengan ayah nya Nur dan ayahnya Amrullah adalah sahabat ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Waktu itu sama-sama satu kampus,satu jurusan.Beberapa hari yang lalu ayah bertemu dengan ayahnya Nur. Ayahnya Nur menyampaikan kalau di rumah setiap hari Nur selalu bercerita tentang kebaikan Mufidah,tentang prestasi Mufidah. Bahkan Nur ingin berada di posisi Mufidah sekarang...sehingga Nur sangat frustasi.”

“ Ya Allah...” jawab Mufidah lirih.

“ Nasehat ayah...Mufidah tetaplah jadi Mufidah yang sekarang. Yang sungguh- sungguh menghafal Al-quran, sungguh-sungguh mempelajari Bahasa Arab agar dapat menjalankan kewajiban terhadap Al-quran serta sungguh-sungguh mempelajari ilmu dunia yang nantinya menjadi jalan untuk bekal akhirat.”

“ Doakan kebaikan untuk Nur. Kehidupan itu Mufidah...baik kaya ataupun miskin, diberikan kemudahan ataupun kesulitan semua adalah ujian...ujian apakah kita terus taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sampai akhir hayat” dengan lembut ayah menjelaskan kepada Mufidah.

“ MasyaaAllah, ayah tolong doakan Mufidah tergolong orang yang memiliki sifat tawadhu.”

“Aamiin...InsyaaAllah..” ayah mengusap lagi kepala Mufidah. Sungguh beruntung Mufidah memiliki keluarga yang saling mengingatkan dalam kebaikan dan taqwa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *